Artikel
DUALISME POLITIK HUKUM KETENAGANUKLIRAN PASCA BERLAKUNYA UU CIPTA KERJA: TANTANGAN PENGAWASAN KETENAGANUKLIRAN DAN PARADIGMA KEMUDAHAN BERUSAHA | Prosiding SKN 2022
Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang bertujuan menyederhanakan regulasi dan mendorong investasi, kini menimbulkan tantangan serius dalam sektor ketenaganukliran. Kajian dari Donni Taufiq dan Anri Amaldi Ridwan dalam Prosiding Seminar Keselamatan Nuklir 2022 mengungkapkan adanya dualisme politik hukum antara UU Cipta Kerja dan UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
Pemerintah dinilai mencoba memangkas regulasi yang dianggap tumpang tindih dan menghambat investasi. Namun, perubahan parsial terhadap UU sektoral, termasuk bidang nuklir, menciptakan kebingungan dalam pelaksanaan pengawasan. UU Cipta Kerja memprioritaskan kemudahan berusaha, sementara UU Ketenaganukliran menekankan perlindungan masyarakat dan lingkungan.
“BAPETEN berada dalam posisi dilematis saat harus memilih antara mendukung investasi atau menjaga keselamatan publik,” tulis para peneliti. Dalam konteks ini, teori keadilan John Rawls diangkat sebagai pijakan untuk menekankan pentingnya keberpihakan kepada masyarakat kecil dalam kebijakan pengawasan.
Kondisi hiperregulasi yang dulu menghambat iklim investasi kini berpotensi berubah menjadi ketidakpastian hukum akibat tumpang tindihnya tujuan regulasi. Oleh karena itu, penulis mendorong adanya terobosan hukum yang memperkuat peran BAPETEN sebagai panglima pengawasan nuklir demi menjamin keselamatan nasional sekaligus mendorong kemanfaatan maksimal tenaga nuklir untuk kesejahteraan rakyat.
Simpulan dari kajian ini menyarankan agar UU Cipta Kerja tidak melupakan kepentingan nasional dan pentingnya harmonisasi regulasi antarsektor demi mewujudkan pengawasan nuklir yang efisien, adil, dan berkelanjutan (Tim Perpustakaan)